Kapitan Waloindi/La Soro di Negeri Ambon
Setelah
berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511, maka pada tahun yang sama bangsa
Protugis melanjutkan perjalanan ke Maluku dan tiba di Ternate. Pada Tahun 1522,
Portugis mendirikan benteng dan kongsi dagang serta berhasil memonopoli
perdagangan. Akibat dominasi ini, membuat masyarakat Maluku marah dan melakukan
perlawanan. Saat itu, Kapitan Waloindi bersama dengan masyarakat Maluku, berhasil
menyerang dan memukul mundur Portugis dari Maluku. Inilah perjuangan pertama
Kapitan Waloindi di Maluku.
Pada
tahun 1596, Belanda masuk ke nusantara dan mendarat di Banten di bawah pimpinan
Corneli de Houtman. Semula kedatangan mereka ini
disambut baik oleh penduduk nusantara. Pada tanggal 20 Maret 1602, Belanda
mendirikan persatuan dagang atau kongsi dagang yaitu Perkumpulan Dagang Hindia
Timur (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang disingkat VOC. Tujuan utama
didirikannya VOC adalah untuk memenangkan persaingan dagang dan mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya dan di ketuai oleh Gubernur jenderal VOC
Pieter Both.
Di Maluku VOC melakukan aktivitas Pelayaran Hongi (patroli
laut) untuk mengawasi rakyat Maluku agar tidak menjual rempah-rempah kepada
pedagang lain. Untuk mempertahankan harga, VOC juga memerintahkan penebangan
pohon rempah-rempah milik rakyat. VOC memberikan hukuman berat kepada rakyat
Maluku yang melanggar aturan monopoli. Hal ini lah yang membuat
masyarakat Maluku marah dan melakukan perlawanan.
Seperti masyarakat Maluku lainnya, Kapitan Waloinndi juga
tidak senang dengan sikap Belanda saat itu. Pada 16 Mei 1817, Kapitan Waloindi
bersama La Tulukabesi
(Raja Hitu), Paulus Tiahahu, Chiristina Marta Tiahahu (Anak Putri Paulus
Tiahahu), dan Kapitan Patipelohi (Patipelong)
serta masyarakat Saparua (Maluku) lainnya, berjuang bahu membahu untuk
mengusir penjajah Belanda (Walanda) dalam merebut Benteng Duursetede di Saparua dan berhasil menguasai dan membunuh semua pasukan
Belanda, kecuali putra Residen yang bernama Juan Van Den Berg. (La Rabu
Mbaru, 2016).
Benteng Duurstede di Saparua (Maluku) |
Di
Maluku, Kapitan Waloindi lebih akrab dipanggil oleh sahabat-sahabatnya dengan
nama ‘Pattimura’ yang diangkat dari nama akronimnya ‘Raja Pati’ dan ‘La Mura’ (La
Hatimura). Jadi, nama Pattimura berdasarkan Culadha
Tape-ape berarti: “Raja Pati yang berhati mulia (bermurah hati)” karena
beliau rela membantu orang yang lemah dan teraniaya. (La Rabu Mbaru, 2016).
Kapitan Pattimura |
Kemenangan
yang gemilang ini menambah semangat juang
rakyat Maluku,sehingga perlawanan meluas kedaerah lain seperti Seram,
Hitu, dan lain-lain. Pada Bulan Juli 1817, Belanda mendatangkan bala bantuan
berupa kapal perang dan dilengkapi dengan meriam-meriam. Akhirnya benteng
Duurstede berhasil direbut kembali oleh
Belanda. Pasukan Pattimura/Kapitan Waloindi melanjutkan perang dengan siasat gerilya.
Pada bulan Oktober 1817, Belanda mengerahkan pasukan sebesar-besarnya untuk
menghadapi Pattimura/Kapitan Waloindi. Sedikit demi sedikit pasukan
Pattimura/Kapitan Waloindi semakin terdesak. Akhirnya pada bulan November 1817,
Pattimura/Kapitan Waloindi, Anthonie Rhebok, dan Thomas Pattiwawl berhasil
ditangkap. (http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/perang-maluku.html).
Benteng New Victoria di Ambon (Maluku) |
Pada
tanggal 16 Desember 1817, Pattimura bersama pejuang menjalani hukuman gantung
di depan Benteng New Victoria Ambon. Sementara Paulus Tiahahu di tembak mati
dan putrinya Christina Martha Tiahhau diasingkan di Pulau Jawa pada tanggal 2
Januari 1818. (http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/perang-maluku.html)
Christina Marta Tiahahu |
Berdasarkan
riwayat Culadha Tape-Tape, bahwa
Pattimura yang digantung di depan Benteng New Victoria Ambon bukanlah Pattimura,
melainkan La Songko. Ia adalah salah seorang
penghianat (mata-mata Belanda) yang wajahnya mirip dengan Pattimura/Kapitan
Waloindi. Sementara Pattimura mengikuti tawanan perang bersama La Tulukabesi (Raja Hitu), Chiristina
Marta Tiahahu, dan Kapitan Patipelohi (Patipelong) bersama tawana perang
lainnya yang akan diasingkan ke Pulau Jawa. (La Rabu Mbaru, 2016).
Ditengah
perjalanan tepatnya di Lautan Buru, Kapitan Waloindi/Pattimura mengatur
strategi untuk membunuh pasukan Belanda. Pada saat semua pasukan Belanda yang
ada di kapal tersebut tertidur, kemudian mereka semua dilemparkan ke laut.
Dengan hal itu, kapal perang Belanda dapat
dikuasai oleh Kapitan Waloindi dan kapal tersebut mereka arahkan ke
Pulau Wanci dan mendarat di Patuno. Yang kemudian tempat berlabuhnya kapal
tersebut disebut Patuhuno/Patuhuano. Kata Patuhuno/Patuhuano dalam bahasa daerah Mbedha-Mbedha dapat berarti
sebagai tempat penurunan tawanan perang. Sekarang tempat itu menjadi salah satu
perkampungan di PulauWangi-Wangi, bernama Patuno.(La Rabu Mbaru, 2016).
Raja
Hitu (La Tuluka Besi), Chiristina Marta Tiahahu, bersama tawanan lain pulang ke
Ambon dengan menumpang perahu layar dari Wanci, Kahedupa, Tomia dan Binongko
tanpa diketahui oleh mata-mata Belanda
di Buton. Sedangkan Kapitan Patipelohi (Patipelong) tidak pulang ke Ambon
melainkan ke Pulau Tomia dan kawin dengan putri Ince Suleman (Dato
Suleman/Penyiar Islam di Pulau Tomia) dan Kapitan Waloindi kembali ke Pulau Binongko.
Jika La Songko adalah mata-mata belanda, trus logikanya bagaimana hingga beliau digantung oleh Belanda??
ReplyDeleteAnda menulis punya referensi apa?
Supaya anda tauh ya...Pattimura itu bukan nama orang, melainkan nama kelompok pejuang. Anda mau tauh lebih lanjut tentang apa itu pattimura, kenala dikasih nama pattimura? Silahkan temui saya.
ReplyDeleteSaya adalah keturunan langsung dari salah satu nama yang anda sebutkan namanya dalam tulisan anda di atas.
Supaya anda tauh ya...Pattimura itu bukan nama orang, melainkan nama kelompok pejuang. Anda mau tauh lebih lanjut tentang apa itu pattimura, kenala dikasih nama pattimura? Silahkan temui saya.
ReplyDeleteSaya adalah keturunan langsung dari salah satu nama yang anda sebutkan namanya dalam tulisan anda di atas.