Latar Belakang Kapitan Waloindi

Ada keunikan tersendiri mengenai latar belakang Kapitan Waloindi, sebab ada beberapa versi sejarah yang berbeda. Seperti yang ditulis oleh La Rabu Mbaru dalam bukunya, disitu dikatakan bahwa Kapitan Waloindi dikenal juga dengan nama La Soro dan di daerah Maluku (Ambon), dikenal dengan nama Pattimura yang diadopsi dari nama Raja Pati dan La Mura (La Hatimura). Berdasarkan Culadha Tape-Tape nama Pattimura berarti: Raja Pati yang berhati Mulia (bermurah hati), dikarenakan Kapitan Waloindi dikenal suka membantu orang yang lemah dan teraniaya. (La Rabu Mbaru, 2016).
Selain itu, menurut buku yang di tulis oleh Ali Hadara dikatakan bahwa, masyarakat Desa Waloindi mengenalnya dengan nama La Ode Puridi, sementara masyarakat Kelurahan Wali menyebutnya dengan nama La Ode Wiridi. Ia juga disebut La Tambaga karena badannya yang kuat dan kebal seperti tembaga. Di Keraton Buton ia disebut La Ode Wiridi serta ayahnya bernama La Wulu Gio karena seluruh badannya berbuluh, kecuali telapak tangan dan kakinya. (Ali Hadara, 2007)
Namun, disini penulis mencoba merangkum semua sumber yang telah ada, agar menjadi kesatuan sejarah yang utuh.
Kapitan Waloindi dilahirkan sekita abad ke-16, dari pasangan La Mentulu Alam/La Ode Wulu Gio (orang Binongko) dengan Wa Pariama/Wa Samanuru (orang Buton). Berdasarkan Culadha Tape-Tape, saat La La Mentulu Alam/La Ode Wulu Gio dan Wa Pariama/WaSamanuru berada di tanah barat (Mongol/Tiongkok/Cina) lahirlah anak mereka yang pertama bernama Kapitan Waloindi/La Soro dan kedua seorang anak perempuan bernama Wa Moilu.
 Ayah Kapitan Waloindi adalah seorang alim yang berguru kepada seorang Waliallah yang datang menemuinya secara gaib pada setiap malam Senin dan Jumat dan mengajarkan berbagai macam ilmu gaib. Kesaktian, kesolehan, dan kearifan yang dimiliki Kapita Waloindi diturunkan dari ayahnya yang sakti, soleh, dan taat beribadah. (Ali Hadara, 2007).
Pada saat memasuki usia remaja, Kapitan Waloindi/La Soro diculik oleh orang yang tak dikenal, sehingga kedua orang tuanya sangat sedih dan dikirannya Kapitan Waloindi sudah meninggal. Akibat hal itu, memaksa kedua orang tua Kapitan Waloindi kembali ke Binongko dan meninggal di Binongko. Namun, sebelum meninggal, mereka berpesan kepada Wa Moilu (adik Kapitan Waloidi), bahwa suatu saat nanti ada orang yang akan mencarimu dan orang tersebut adalah kakak kandungmu sendiri dan ia bernama Kapitan Waloindi/ La Soro. Saat itu Wa Moilu teleh menikah dengan La Gansauri (orang Wanci) yang merupakan putra Wa Suru Baenda (orang Banda) namun tinggal di Tindoi (Wangi-Wangi/Wanci). Sementara itu berdasarkan Culadha Tape-Tape, kedua orang tua Wa Suru Baenda berasal dari  Binongko yang bernama La Baenduru dan Wa Samanigora.
Sejak usia remaja Kapitan Waloindi telah berpisah dengan kedua orang tuanya. Hal itulah yang mendorong Kapitan Waloindi memutuskan untuk menemui ibunya di Binongko. Ia berangkat dari tanah barat (Mongolia/Tiongkok/Cina) menuju kepulauan nusantara dan sampai di Gorontalo (sekarang Propinsi Gorontalo). Dari Gorontalo ia pun melanjutkan perjalanannya menuju di Kepulauan Bitokawa (sekarang Wakatobi) dan kala itu Binongko adalah sebuah pemerintahan kerajaan. Ketika Kapitan Waloindi sampai di tanah Binongko, ia bertemu dengan La Kakadhu dan saat itu La Kakadhu menjabat sebagai Raja Binongko yang kedua. Di hadapan La Kakadhu, Kapitan Waloindi mengatakan bahwa ia adalah salah satu cucu dari Raja Binongko ke-I (Sumahil Tahim Alam) yang lahir tanah barat (Mongolia/Tiongkok/Cina). Tapi, La Kakadhu tidak serta merta percaya begitu saja dan ia pun meminta bukti, jika memang benar.
Untuk membuktikan bahwa ia adalah cucu Raja Binongko ke-satu, Kapitan Waloindi meminta kepada La Kakadhu untuk saling mencoba kesaktian. Tak berpikir panjang, lalu La Kakadhu menguji kesaktian Kapitan Waloindi dengan membela batu. Dimana batu itu adalah tempat berdirinya Kapitan Waloindi/La Soro dan akibatnya ia terperosok kedalam lubang batu sedalam tuju depa. Sekarang tempat tersebut bernama Kahea Kobha (artinya lubang tercabut). Kahe Kobha adalah tempat jatuhnya Kapitan Waloindi yang berupa tanah longsor bekas lubang batu. Kemudian giliran Kapitan Waloindi untuk menguji kesaktian La Kakadhu dengan menusuk pusat perutnya menggunakan jari telunjuk. Lalu Kapitan Waloindi mengangkat La Kakadhu sambil memutar-mutar dan melemparnya. Dikisahkan, La Kakadhu terlempar sampai di Mata Sangia (Tanjung Pamali) di Pulau Buton.(La Rabu Mbaru, 2016).
Dari peristiwa tersebut diatas, seketika La Kakadhu percaya dan mengatakan "Oihu". Berdasarkan Culadha Tape-Tape, nama Oihu berasal dari kata "Toih'u/Toih" atau "Toihu", yang artinya "Engkaulah Saudaraku/Sepupu". Ada juga yang mengatakan, Oihu terdiri dari 3 makna kata, yaitu: "O" adalah sebagai kejadian manusia (pertemuan manusia), "I" adalah huruf Alif (dalam Al-Qur'an) dan diinterpretasikan sebagai alat kelamin laki-laki, serta "HU" adalah rahasia Allah SWT sebagai pencipta alama semesta beserta isinya. (La Rabu Mbaru, 2016).
Saat ini kata Oihu telah diabadikan menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Togo Binongko, ialah Desa Oihu. 
Jadi, dari kisah sejarah diatas, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa antara Kapitan Waloindi dengan La Soro adalah orang yang sama. Dari kisah diatas, kita juga dapat mengambil hikmah yang terkandung di dalam makan sejarah itu. Contohnya, dengan menjaga tali persudaraan dan silrahturahmi diantara sesama manusia agar tercipa Ukhuwah Islaminya yang kokoh dalam bingkai Kebhinekaan. Ketika hal itu dapat tercapai, maka akan menjamin keharmonisa dan toleransi antara masyarakat Indonesia pada umumnya, dan khususnya masyarakat Binongko.


Daftar Sumber:
Ali Hadara ,dkk. 2007. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara dari Masa Penjajahan Hingga Pasca Kemerdekaan. Kendari : BARISDA SULTRA-LP UHO
Mbaru, La Rabu. 2016. Culadha Tape-Tape Peradaban Binongko Wakatobi Buton. Catatan tidak dipublikasikan

  

0 Response to "Latar Belakang Kapitan Waloindi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel